Dunia perkomikan Indonesia mungkin memang nggak sebesar dunia seni lainnya seperti, musik dan film. Namun, siapa sangka kalau dunia komik Indonesia juga memiliki andil untuk mengharumkan nama bangsa di kancah Internasional? Komikus Hari Prast misalnya, Ia sempat membawa komik-komik karyanya ke festival buku di Jerman, dan juga bisa memenangkan Shorty Awards di Amerika. Selain itu, dalam karyanya Ia juga selalu ingin menunjukkan hal yang positif dan juga menjunjung tinggi budaya lokal Indonesia. Salah satu karyanya adalah menggambar sebuah komik yang berjudul “A Man Called #Ahok”. Siapa sih Hari Prast? Apa saja yang sudah Ia lakukan? Simak wawancara ekslusif berikut ini!
Anda kan suka bikin komik dengan karakter-karakter public figure. Itu ceritanya gimana awalnya? Dari ide sendiri atau emang ada yang request untuk bikin?
Awalnya sih karena gue lebih peduli dengan karakter lokal, karakter yang pernah ada lokal gitu loh yang orang mulai nggak inget ini orangnya siapa. Emang sengaja cari jalur itu, nggak mainstream ya. Maksudnya, bukan superhero atau apa, paling nggak bisa membantu sedikit banyak orang yang ingin tahu tentang tokoh yang suka gue gambar. Nah, dari situ akhirnya beberapa banyak tawaran untuk, “Komikin yang ini, komikin yang itu”, gitu.
Kadang-kadang kan juga suka bikin cerita yang berbau-bau politik dan semacamnya, nggak takut menuai kritikan? Karena, itu kan suatu yang sensitif juga gitu.
Kalau politik justru gini, kan zaman dulu politik itu kan ada istilahnya “langsung, bebas, dan rahasia”. Sekarang kan zaman demokrasi, maksudnya gue ingin santai aja, ini cuma politik, ini sama aja kayak yang lain, cuma kalau gue bikin pun nggak ada menyindir sana-sini, jadi mengajari orang untuk membuat yaaa, kalau ngomong yang baik aja, biar pun setuju nggak setuju tapi ngomongin yang baik-baik aja, nggak harus perlu jelek-jelekin gitu loh. Biar pun gue berpihak ke A atau ke B, itu sebenarnya cuma buat ngajarin orang kalau misalkannya prinsip lo si ini, yaa belain dengan positif. Nggak usah jelek-jelekin, karena akan terjadi perpecahan.
Untuk cerita-cerita dalam komik-komik itu sendiri emang mengumpulkan dari data-data yang ada atau pure fiksi?
Kalau selama ini bikin berdasarkan fakta.
Di Instagram Anda kan juga sering membuat komik dengan tema-tema yang lagi ramai dibicarakan, seperti berita hoax, om telolet om, dan banyak lagi. Sebenarnya, apakah itu memang menjadi poin penting dalam Anda berkarya, membahas femonema yang lagi ramai?
Sebenarnya sih nggak semua, kalau dibilang gatel, ya gatel ingin nyela. Tapi, kan harus tetap netral dan berpikir positif. Gue di situ selalu berusaha ngajak, “Ayo Positif!”, ini tuh cuma hoax doang, bukan apa-apa. Jadi, orang bisa, “Oh, iya ya!”, paling nggak memberi kesadaran nggak semua berita dipercaya. Kan, kita sendiri kalau nge-share apapun kan sosial media kejam banget ya, maksudnya berita nggak jelas pun di-share gitu loh, redaksinya siapa kita nggak tau ya kan. Ya, ini harus dilurusin lah, sedikit banyak sih nggak penting, yang penting menurut kita benar.
Nah, untuk inspirasi dalam membuat sebuah komik itu darimana selain dari fenomena-fenomena yang lagi rama dibicarakan?
Yang pasti, lewat sosial media pasti. Yang lain itu biasanya lewat idola, se-simple kayak idola musik saya siapa, terus gue gambar, gue naikin dengan kelokalan biar ada cirinya aja sih. Karena, gue bukan orang yang bisa bikin kayak karakter-karakter absurd gitu, suka bingung sendiri. Cuma yaudah, gue lebih jujur aja ke visual sama ke idola-idola yang biasa memengaruhi gue sih.
Tokohnya siapa yang biasanya memengaruhi Anda berkarya? Yang menjadi influencer Anda?
Andy Warhol salah satu idola, Basquiat, cuma gue nggak bisa gambar kayak Basquiat, banyak sih. Kalau lokal itu, kebudayaan sih paling banyak memengaruhi, biasanya gue mengawinkan dua karakter ini untuk membuat suatu karya yang baru.
Sebenarnya, dari dulu emang sudah memiliki cita-cita jadi komikus?
Dulu zaman kuliah emang ngomik, abis itu gue tinggalin karena terjerumus di iklan, udah doyan banget nih di iklan, belakangan kan apa ya? Bukan bosen ya, di iklan itu ini harus berubahlah, terus coba pakai pendekatan ilustrasi, yang selama ini foto, video, foto, video, siapa tahu ilustrasi bisa memengaruhi di iklan. Ya, memang belum terpengaruh banyak, cuma mulai kelihatan sih, maksudnya banyak iklan pakai konsep ilustrasi.
Biasanya bikin 1 komik itu memakan waktu berapa lama?
Komik yang gue lepas di sosial media sehari lepas dua halaman, udah seminggu ini. Pengerjaannya tergantung mood, kalau mood-nya lagi bagus bisa sejam, dua jam.
Apa aja sih kendalanya selain tadi mood yang lagi nggak bagus mungkin?
Kendalanya, apa ya? Bagi waktunya sih, cuma gue emang sengaja menyisihkan sehari itu paling nggak bikin karya apa aja lah, entah komik, entah cuma gambar-gambar.
Oh, berarti setiap harinya emang nyisihin waktu untuk berkarya ya. Nah, dari bikin komik ini, prestasi apa aja sih yang sudah Anda dapatkan?
Hmm, lumayan sih. Komik politik yang awal dibikin bareng tim itu sempat kita bawa ke festival buku di Jerman, terus abis itu kita presentasi. Kita ke Amerika juga, kita dapat penghargaan Shorty Awards, terus dapat kolaborasi-kolaborasi yang aneh sih kayak tahun lalu gue bareng MLD sih sebenarnya, bareng Handoko, Darbot, mas Jacub itu bikin instalasi, kita ngemural. Terus sekarang lagi banyak kolaborasi sama musisi kayak sama Glenn gitu. Lebih absurd sih, maksudnya ternyata komik itu bisa kawin ke segala media.
Oke, kan tadi bilang udah ke Jerman, ke Amerika. Tanggapan orang-orang di sana dengan karya Anda seperti apa?
Lumayan bagus sih. Terbukti kayak komik yang pertama itu lumayan dapat penghargaan, karena kayak di Amerika itu dapat penghargaan Shorty Awards waktu itu, karena sesuatu yang itungannya nggak ada modal, cuma lewat sosial media, pakai tangan sendiri, tapi bisa viral ke seluruh Indonesia. Itu yang membuat mereka mengapresiasikannya.
Kalau tadi Anda sempat cerita ingin membuat orang untuk selalu positif, pesan apa lagi sih sebenarnya yang ingin Anda sampaikan, dan Anda ingin orang yang membaca karya Anda jadi seperti apa?
Simple sih, kayak di Instagram itu kan @harimerdeka, maksudnya ya orang bisa merdeka aja dengan mengapresiasikan semua ini. Entah harus, “Ah, entar jelek, entar ini”, yaa lakuin aja.
Menurut Anda sendiri, dalam dunia komik itu ada rules-nya nggak sih dalam berkarya? Atau bisa bebas-sebebasnya aja?
Gue nggak tahu banyak, karena komik pun banyak segment-nya sama banyak orang dengan berbeda gaya, berbeda ini, beda itu, komunitasnya ini, komunitasnya itu. Tapi, yang pasti kalau aturannya gue sih lebih menganut paham simple dan bebas bertanggung jawab, jadi ya kalau lo bikin karya, lo harus bisa dipertanggung jawabkan. Nggak bisa lo bikin, terus maksudnya apa, lo bodo amat, kan ini lepas ke public, mereka yang baca, mereka yang lihat.
Oke, kalau soal style gambar, Anda dapatnya dari mana? Dan, kenapa memilih itu?
Style gambar gue itu kan pakai gaya komik Eropa, yang sebenarnya nggak banyak juga orang-orang Indonesia yang suka. Gue dibesarkan dengan waktu itu ada komik Amerika, superhero, terus Eropa dengan Tin Tin dan lainnya, terus abis itu Jepang. Gue dari awal doyan dengan gaya Eropa, lebih realis, maksudnya kalau badan itu nggak gede-gede gitu, lebih masuk akal, se-simple itu sih. Dan, itu belajar gambarnya dari situ, yang bisanya ini ya gue jalanin. Dan, kebetulan gaya itu tuh di saat ini kan sepi banget gitu loh, yaudah, keluarin aja. Ternyata, punya massanya sendiri. Gue lebih suka dengan Eropa, bukan karena Eropanya ya, gaya itu tuh mempunyai banyak warna, warnanya meriah cuma gimana ngatur itu supaya bisa enak dilihat.
Nah, kita semua juga tahu nih kalau dunia Stand Up Comedy juga pakai istilah komik. Sebagai komikus merasa terganggu dengan itu nggak sih? Atau pernah mengalami kejadian salah sebut, yang harusnya nyebut komikus malah jadi komika?
nggak masalah, karena kita klaim komikus, kita klaim fotografer, kita klaim Stand Up Comedian, ya penting kan akhirnya ke orangnya sendiri, seberapa tajam dia membuat karya itu untuk orang. Ya, nggak masalah sih.
Terus, tanggapan Anda dengan dunia perkomikan Indonesia sekarang ini seperti apa sih?
Menurut gue sih lumayan maju ya. Gue kan nyemplung baru 2 tahun terkahir ini, ternyata lumayan maju dan lumayan banyak orang yang tertarik ke situ, cuma memang belum sebesar yang lain. Cuma, gue pikir ini bakal bisa jadi gede sih suatu saat.
Ada komunitasnya gitu nggak sih?
Banyak, komunitasnya banyak. Ada beberapa komunitas yang berbeda-beda dengan gaya dan karakter berbeda-beda. Di komunitas itu biasanya ada acara tahunan tuh, namanya Comic Con.
Anda masuk ke salah satu komunitas itu?
Enggak. Hmmm gini, tergabung iya, cuma bukan jadi satu-kesatuan gitu, maksudnya ya kenal, kenal, kenal, cuma biar lebih netral aja, main ke sini bisa, main ke situ bisa. Karena itungannya kan masih awam di komik, jadi butuh banyak ingin tahu juga.
Selain bikin komik, ada hobi yang lain nggak?
Hobi lain, dulu motret, sekarang motret cuma buat iseng. Terus apa lagi ya? Sekarang sih lagi mengeksplorasi menggambar dengan berbagai alat, maskudnya hari ini nyobain cat air, besok ini, besok itu, media ini, media itu. Ingin mindahin ke banyak media.
Ada tips mungkin dari Anda untuk para pemula yang baru ingin terjun ke dunia komik?
Sebisa mungkin ciptain karakter sendiri yang beda dari yang lain, terus buat ceritanya semenarik mungkin, terus lebih jujur dalam berkarya, terus itu tadi sih lebih positif aja, maksudnya jangan ke arah yang nggak-nggak lah, yang SARA, atau yang apa gitu.
Harapan Anda untuk dunia perkomikan Indonesia ke depannya seperti apa?
Semoga lebih bagus lagi sih, lebih banyak yang ingin tahu dan ingin nyemplung di situ, sehingga lebih berkembang lagi gitu.
Kalau disuruh melakukan sesuatu supaya orang-orang lebih aware dengan dunia komik Indonesia, apa yang akan Anda lakukan?
Bikin pameran besar-besaran tentang komik Indonesia, itu cita-cita. Gue ingin ngajak beberapa komikus untuk pameran bareng dengan karya-karya mereka gitu, dengan satu tujuan yang sama juga. Temanya apa nanti disesuaikan dengan gaya komikusnya, yang penting juga ada kekentalan Indonesia.
Oh, jadi selain orang lebih aware dengan komik Indonesia, juga aware dengan budaya lokal ya? Oke deh, terima kasih atas waktunya.
Iyaa, oke, sama-sama.
Comments