Kali ini Ryo Wicaksono membedah banyak hal soal Indonesian City Pop bersama dua musisi beda generasi, Fariz Rustam Munaf atau lebih dikenal dengan Fariz RM, dan Vira Talisa. City Pop adalah genre musik pop asal Jepang yang meledak di tahun 80’an, yang belakangan justru sedang kembali naik daun, seperti “Stay With Me” dari Miki Matsubara atau “Plastic Love” dari Mariya Takeuchi yang sedang heavy rotation di berbagai playlist dan platform. Ternyata di era yang sama Indonesia juga sedang menggandrungi genre yang serupa di bawah nama-nama Utha Likumahuwa, Candra Darusman, Vina Panduwinata, dan Fariz RM, yang musiknya banyak dikaitkan dengan genre City Pop asal Jepang, hingga akhirnya keluar istilah Indonesian City Pop.
“Kita waktu itu sempat manggung bareng, belum pernah kontak sebelumnya tapi waktu itu langsung latihan bareng di Gandaria. Sempet deg-degan takut salah, cuman akhirnya pas break kita bisa ngobrol santai. Kadang kalau lagi ketemu gini tuh suka lupa kalau lagi sama Om Fariz, cuman pas sampai rumah suka baru kepikiran kalau baru saja latihan sama legenda.” Deskripsi Vira Talisa mengenai Om Fariz.
Om Fariz pun juga bercerita mengenai impresi ketika berkolaborasi dengan Vira talisa. “Aku orang yang dari dulu senang berkolaborasi lintas generasi. Aku pernah memproduseri Ahmad Albar, Emilia Contessa, Titiek Puspa, dan banyak lagi lah. Juga berkolaborasi dengan generasi milenial seperti White Shoes and the Couple Company, The SIGIT, bahkan pernah ditunjuk sebagai sutradara untuk musik video Diskoria. Kolaborasi selalu menyenangkan. Selain aku bisa sharing ilmu dan experience saya kepada mereka, tapi aku juga sering mendapat sesuatu dari mereka. Karena itu bisa jadi media take and give pengetahuan, pengalaman, dan juga cita rasa bermusik.”
Ketika disinggung mengenai antusiasme yang besar dari para anak muda terhadap musik City Pop, yang bahkan diciptakan ketika para generasi baru ini mungkin belum lahir, Fariz RM punya jawabannya. “Aku ingat saya pertama kali diajak oleh Diskoria, kami main di sebuah bar sekitar Senopati, pertama aku ragu apa benar mereka mengajak aku. Padahal ketika itu usiaku 58 tahun dan aku harus bernyanyi di depan crowd usia muda. Ternyata mereka semua nyanyi dan hafal semua, bahkan lebih hafal daripada aku sendiri yang punya lagu. Makanya buat aku istilah City Pop juga sekadar istilah. Dia tetap pop, dan pop selalu merangkul pasar terbanyak, karena paling simpel dan presentasi musikal juga sederhana.”
Pertanyaan berlanjut ke Vira ketika Ryo menanyakan kenapa memilih musik tahun 80’an sebagai referensi, Vira menceritakan pengalamannya. “Dulu ketika study di Perancis, di kota gue ada library gede banget dan gue berlangganan 10 cd musik perminggu, sampai akhirnya nemu Herbie Hancock, yang akhirnya membuka taste musik gue ke arah sana. Setelah itu karena bantuan internet juga akhirnya discover similar artist, sampai akhirnya gue menemukan Taeko Onuki musisi Jepang yang sampai sekarang jadi panutan gue dalam bermusik. Mungkin kemudahan akses untuk memilih yang gue seneng dan memang ada sesuatu yang atraktif di musik 80’an yang gak bisa gue temuin di musik mainstream.”
Fariz RM juga bersemangat ketika menjelaskan kedekatan Indonesian City Pop dengan City Pop yang erat dengan musisi Jepang. “Aku terinspirasi dari banyak musik, banyak referensi yang saya ambil baik dari Jepang, kalau sekarang mungkin dari Korea juga. Influence bisa dari mana saja karena interpretasi orang buat satu lagu saja bisa sangat berbeda.” Vira juga ikut menambahkan. “Mungkin gue lebih berasa too much information sekarang kalau sedang ngulik. Untungnya gue termasuk tipe yang seru sendiri di cakrawala musik yang gue suka. Bener kata Om Fariz kita jadi generasi yang beruntung dengan luasnya informasi saat ini. Tapi jika ditanya musik-musik yang masuk ke kategori City Pop mungkin secara sound yang familiar antara satu sama lain.”
Fariz RM kembali memberi tips berikutnya. “Kalau aku dulu ya, menurut aku musisi kita sering tidak sabar dalam mengumbar banyak referensi yang dia dapat. Artinya kadang kita bikin album pertama nih, di album kedua kadang kita bikin sesuatu yang baru lagi. Padahal kadang waktu yang dibutuhkan publik untuk membiasakan diri dengan apa yang kita buat itu jangan terlalu cepat. Kita sebagai musisi harus sabar dan tenang aja, jadi sekarang aku juga kalau bikin album juga tidak terburu-buru, dan itu juga kita pertahankan dulu lewat show dengan konsep itu dulu. Sampai akhirnya kita punya jeda waktu untuk menciptakan sesuatu yang baru nanti. Dan yang terpenting kita berani bereksperimen dan bereksplorasi, jangan bikin boundaries di kreativitas musik kita, nanti biar publik yang mendefinisikan musik kita dengan sendirinya.”
Keseruan obrolan ini berlanjut dengan pertanyaan dari follower di Instagram, salah satunya pertanyaan soal apakah musisi Harrie Dea adalah inspirasi dari Indonesian City Pop, Fariz RM melanjutkan ceritanya. “Aku setuju kalau Harry Dea bisa dibilang inspirasi Indonesian City Pop, karena sebelum aku memulai bermusik secara solo, aku lebih dulu memproduseri album Harry Dea, dan pengalaman mengerjakan album Harry Dea juga membawa banyak pengaruh positif untuk diriku.”
Ryo Wicaksono juga sempat melempar pertanyaan mengenai perlu nya mengukuhkan Indonesian City Pop sebagai genre baru dari Indonesia, Fariz RM punya jawabannya sendiri. “Kalau aku pribadi ga perlu lah ya. Karena istilah itu datang bukan dari musisi, tapi datang dari pengamat atau pendengar. Artinya tidak ada musisi yang sengaja menciptakan istilah baru. Jadi kalau buat aku sih musisi bertanggung jawab untuk bermusik aja.”
Masih ada beberapa pertanyaan lain dan keseruan obrolan mengenai Indonesian City Pop dari dua musisi lokal kebanggaan Indonesia, yang berasal dari dua generasi berbeda, Fariz RM dan Vira Talisa di MLDPODCAST. Simak versi penuh dari episode ini bersama Ryo Wicaksono, Fariz RM, dan Vira Talisa di sini atau dengarkan versi audio dari MLDPODCAST di sini.
Comments