“Nenek moyangku seorang pelaut, gemar mengarung luas samudera. Menerjang ombak tiada takut, menempuh badai sudah biasa.”
Potongan bait lagu ‘Nenek Moyangku Seorang Pelaut’ ini menggambarkan Indonesia yang jadi jaya di laut. Indonesia punya ribuan pulau yang tersebar dari ujung timur ke barat. Sebagai negara kepulauan, kapal laut dan perahu menjadi salah satu transportasi utama di Indonesia. Makanya, Indonesia dikenal sebagai pembuat kapal yang tangguh. Dan salah satu kapal tradisional Indonesia, tepatnya dari suku Bugis, yaitu Kapal Pinisi sangat terkenal dan mendunia.
Kapal pinisi termasuk dalam jenis kapal layar yang dahulu biasa digunakan sebagai kapal dagang. Kapal pinisi umumnya memiliki dua tiang layar utama dan tujuh buah layar. Tiga di ujung depan, dua di bagian depan, dan dua di bagian belakang.
Kapal yang terbuat dari kayu ini sudah dikenal dunia dan menjadi satu-satunya kapal kayu yang mampu mengarungi lima benua. Mulai dari berlayar ke Vancouver, Kanada, Samudera Pasifik, Madagaskar, hingga Jepang.
Nah, untuk tahu soal sejarah dan proses pembuatan Kapal Pinisi, Urbaners bisa datang langsung ke Kelurahan Tana Beru, Kecamatan Bontobahari, Bulukumba. Letaknya sekitar 176 kilometer dari Makassar, Sulawesi Selatan. Disinilah para pembuat pinisi sudah turun temurun menekuninya sejak abad 14.
Yang unik, para perajin membuat kapal pinisi berdasarkan pengalaman dan pengetahuan yang diperoleh dari nenek moyang mereka, tanpa menggunakan gambar atau kepustakaan tertulis. Proses pembuatannya juga nggak bisa dipastikan, semua tergantung ketersediaan bahan dan musim. Ada tiga jenis kayu yang digunakan untuk membuat pinisi, seperti kayu dupasa, jati, dan besi. Masing-masing jenis kayu tersebut memiliki fungsi yang berbeda-beda.
Dan meski saat ini sudah banyak teknologi modern dalam pembuatan kapal, para perajin kapal pinisi masih mempertahankan tradisi pembuatan kapal pinisi hingga saat ini. Dalam pembuatan pinisi para pengrajin memadukan keterampilan membuat kapal dengan ritual-ritual magis.
Pembuatan kapal pinisi dimulai dengan menentukan hari baik untuk mencari kayu sebagai bahan baku. Hari baik untuk mencari kayu ini biasanya jatuh pada hari ke-5 dan ke-7 setiap bulannya. Angka lima merupakan simbol dari naparilimai dalle’na yang berarti rezeki sudah di tangan. Sementara itu, angka tujuh adalah simbol dari natujuangngi dalle’na, yang berarti selalu mendapat rezeki.
Selanjutnya adalah tahap menebang, mengeringkan, dan memotong kayu. Pembuatan pinisi dimulai dengan membuat bagian dasar perahu yang biasa disebut dengan ‘lunas’. Kemudian semua kayu dirakit dengan memasang lunas, papan, mendempul, dan memasang tiang layar. Dan tahap terakhir adalah peluncuran perahu ke laut.
Setiap tahap pembuatan pinisi selalu didahului dengan ritual atau upacara adat tertentu. Seperti saat pemotongan dan peletakan lunas, kayu lunas diletakkan menghadap timur laut. Usai dimantrai, bagian lunas yang akan dipotong ditandai dengan pahat. Pada tahap ini, disediakan sesajen berupa makanan manis dan memotong seekor ayam putih.
Sebelum kapal pinisi yang telah jadi diluncurkan ke laut, ada upacara Maccera Lopi atau menyucikan perahu terlebih dahulu. Upacara ini ditandai dengan penyembelihan binatang. Jika pinisi tersebut bobotnya kurang dari 100 ton, maka binatang yang disembelih adalah seekor kambing. Namun, jika beratnya lebih dari 100 ton, maka yang disembelih adalah seekor sapi.
Teknik pembuatan pinisi yang unik ini telah masuk dalam Daftar Warisan Budaya Takbenda UNESCO sejak 2017 lalu. Kece kan, Urbaners?
Comments