Sekarang, kalau lo mau ganti dompet, udah banyak banget brand lokal yang nawarin berbagai jenis leather goods kayak dompet, gantungan kunci, pouch, sampai asbak portabel. Beberapa yang jadi top of mind dan mungkin lo tau – kayak Voyej, Revolt Industry, atau Verne Indonesia.
Dari situ, rentang harga dan eksklusivitas brand produk kulit ini juga beragam. Lo bisa beli dompet kulit yang harganya Rp250.000-an, di atas satu juta Rupiah atau bahkan di atas lima juta Rupiah. Saking banyaknya brand leather goods, banyak brand yang underrated, tapi ternyata udah punya customer loyal.
Misalnya, Inspiring Product yang satu ini – Cravar. Leather goods brand asal Jakarta, Indonesia yang mengusung produk tas kulit yang functional dan durable. Sebelum jadi Cravar, owner-nya Yoki P. Baskara menamai brand-nya ini dengan nama BRONN. Dengan bantuan rekannya yang ahli di bidang branding, BRONN rebranding jadi Cravar.
Ngomongin awal berdirinya Cravar – perjalannya cukup panjang. Di tahun 1998, Yoki yang sedang jalan-jalan di sebuah mal di pusat Jakarta masuk ke toko yang menjual barang-barang kulit. Di situ, dia melihat tas kulit yang berkualitas tinggi, tapi harganya terbilang mahal baginya waktu itu.
Menariknya, Yoki bukan jadi pengin beli tas itu, tapi dia bertekad buat bisa bikin produk dengan kualitas seperti itu. Ambisi ini pernah dikesampingkan beberapa tahun sampai saat Yoki melakukan perjalanan backpacking ke Florence, Italia. Di situ, ia mengunjungi toko-toko barang kulit dan momen itulah yang mengawali Yoki merintis Cravar.
Menggunakan Crowdfunding Sebagai Batu Loncatan
Saat mau mulai membangun Cravar, Yoki dan rekannya Rama Luhur merasa kesempatan buat menjual tas kulit dengan kualitas dan harga setinggi Cravar masih belum sebesar itu. Jadi, mereka memutuskan untuk mulai dari pasar luar negeri memakai platform urun daya Kickstarter pada 2013. Di situ, Cravar merilis produk pertamanya, messenger bag.
Di Kickstarter, Cravar mengedepankan layanan pelanggan yang atentif dengan komunikasi yang responsif. Realisasi produk Cravar yang dikirimkan ke konsumen juga termasuk tinggi. pun termasuk. Pada kloter pertama, hampir 200 orang yang memesan produk Cravar. Mayoritas pembelinya berasal dari Amerika Serikat. Kickstarter pun berhasil dijadikan tempat untuk menguji kualitas produk Cravar.
Selama beberapa tahun Cravar lebih dikenal di luar negeri daripada di Indonesia. Di awal periode setelah Kickstarter, persentase penjualan produk Cravar itu 90 persen dari luar negeri. Tapi sekarang, Cravar berhasil membalikkan keadaan dengan 70 persen penjualan yang berasal dari pembeli Indonesia.
Wah, gimana caranya, tuh, Bro? Strategi Yoki saat itu bukan cuma jualan online, tapi juga door-to-door. “Jadi, di mobil gue tuh selalu ada minimal sepuluh tas. Kalau ada orang mau lihat, di Jakarta, kita ketemuan.” ungkap Yoki mengenang masa-masa turun langsung menjadi sales.
Bagi Yoki, pengalamannya bertemu pembelinya secara pribadi membuatnya kenal banget sama keinginan pembelinya. Obrolannya dengan pembeli dijadikan input untuk meningkatkan kualitas produknya. Dari pertemuan-pertemuan itu, banyak customer yang mau Cravar membuka toko fisik.
Dari situ, Yoki membuka toko offline pertama Cravar yang berlokasi di Pondok Indah. Toko ini dinamakan “Ruang Tamu”, supaya pembeli yang datang bisa merasakan suasana akrab seperti yang Yoki lakukan saat door-to-door. Di sana, orang bisa datang untuk melihat produk sambil ngobrol dengan santai.
Andalkan Material Lokal untuk Tas yang Fungsional
Dalam proses product development dan produksi, Yoki mengakui enggak punya satu brand spesifik yang jadi referensi utama. Cravar terinspirasi dari beberapa brand dan elemen produk tas kulit, terutama tas kulit yang ia lihat pada 1998 dan saat di Italia.
Yang terpenting bagi Yoki adalah membuat ciri khas yang bisa langsung dikenali orang waktu ngelihat produk Cravar. “Dari brand A kita suka ini karena bagian apanya, brand B kita suka bagian apanya. Kemudian, kita pelajari cara bikinnya gimana, visualnya gimana. Dimasukin juga identitas dari Cravar sendiri, supaya hasil akhirnya ya ini tasnya Cravar, bukan ini tas Cravar yang mirip kemana. Kita pengen punya identitas sendiri sih intinya,” terang Yoki.
Setiap bagian dari produk Cravar sudah didesain supaya punya fungsi dan tujuan yang spesifik dan jelas. Contohnya, strap yang dipasang memutari tas. Selain jadi signature style, metode ini bertujuan supaya strap-nya gampang dibenerin kalau rusak.
Meski sempat diminati di luar negeri, material yang digunakan Cravar hampir seluruhnya lokal. Kulit yang dipakai Cravar dikembangkan secara mandiri di tempat penyamakan kulit di Yogyakarta. Dengan kulit yang dikembangkan sendiri, Yoki memastikan keseragaman kualitas dan karakter kulit yang dipakai.
Satu hal yang cukup menarik dari Cravar adalah di awal pandemi tahun lalu. Cravar sempat mengalami masalah menjaga kesediaan stok produk dan material kulit yang digunakannya. Ruang Tamu Cravar juga harus tutup karena era new normal. Tapi justru, sampai Mei 2020, penjualan Cravar naik 40% yang adalah repeat order dari konsumen loyalnya.
Cravar punya rencana untuk tetap melakukan ekspansi produk dengan hati-hati. Ekspansi yang dilakukan adalah penambahan varian dari model tas yang sudah ada, misalnya nambahin warna dan ukuran baru. Tentunya, seperti kebiasaan Cravar, feedback yang diberikan sama customer jadi latar belakang rencana ini.
Menarik banget, kan, kisah perjalanan Cravar? Nah, lo bisa dengerin lengkapnya dan lihat line up produk Cravar di MLDSPOT TV Season 7 Episode 2 “Local Crafty”. Tonton episodenya cuma di YouTube MLDSPOT TV. Make sure buat subscribe YouTube Channel MLDSPOT TV dan follow juga @mldspot di Instagram. Get yourself inspired by MLDSPOT
Comments