Urbaners, pasti lo setuju kan kalau dalam beberapa tahun terakhir skena streetwear itu lagi ‘seksi’ banget? Mendadak banyak brand baru bermunculan dan mengeluarkan kolaborasi yang keren di sana-sini. Kayaknya, bisa dibilang kalau fenomena ini adalah gelombang kedua di mana streetwear merajai industri fashion dunia sejak gelombang pertamanya di era 1990-an.
Di Indonesia sendiri, skena ini berkembang pesat lebih dari sebatas pelaku dan penikmat. Konsumen mulai respect dan melirik produk lokal. Di lain sisi, banyak brand lokal yang berhasil menunjukkan taringnya ke kancah internasional. Salah satunya adalah Public Culture.
Streetwear Brand That Re-Styled The Trend
Dari sekian banyak brand streetwear lokal yang berdatangan, Public Culture berhasil naik ke papan atas berkat keberaniannya mendobrak tren yang lagi adem ayem. Sejak berdiri di tahun 2016, Michael Kurniawan, sang founder, berniat memberikan suasana baru di industri streetwear lokal. Dia membangun Public Culture yang menolak keseragaman tren dengan eksplorasi warna yang berani.
"Michael punya idea buat bikin sebuah brand yang bisa nge-represent youth culture. Apapun yang lagi hype, itu akan kita translate ke visual yang akhirnya jadi produk kita sendiri. Kata yang tepat menurut gue itu versatile," tutur Andre Arnoldus, Art Director Public Culture.
Lantas apa yang membedakan Public Culture dengan brand streetwear yang lainnya? Pertama, Andre menjawab kalau brand yang digarapnya itu nggak melekat ke satu kultur. Sebaliknya, karena nggak punya specific roots, Public Culture punya kesempatan buat tap in ke many subculture. "Kita nggak dari skate, music or whatever. One day kita mau collab sama siapapun, kita bisa," ujarnya.
Posisi memang menentukan cara bermain, dan Public Culture sudah memahami itu sejak dini, Urbaners. Melekatnya satu kultur ke dalam satu brand bukan lagi hal yang tabu. Kebiasaan ini sudah berjalan dari gelombang pertama merebaknya skena streetwear. Mereka memiliki satu tendangan bebas yang bisa dihadapkan ke arah mana pun. Seperti kata Andre, “Public Culture made for people with youthful mindset and trust in freedom.”
Kedua, Michael dan Andre sepakat buat menginspirasi banyak orang lewat tema dan pesan dari setiap koleksi yang dirilis. Mereka percaya, story di sebuah produk itu lebih bisa menyentuh hati konsumen. Sebagai contoh, Andre bercerita tentang koleksi Parallel Existence. Dikoleksi ke-7 itu, Public Culture berusaha mengajak orang buat berpikir outside the world dan menemukan possibility yang ada di luarnya.
"Kita survive dari apa yang kita offer ke market. Sejauh ini PC (Public Culture) selalu bikin koleksi yang berbeda tema, itu udah jadi salah satu effort kita buat stay di industri. Ketika lo punya tema dan story di sebuah produk, somehow orang akan beli produknya walau kayak gimana pun," sambung Andre.
Terlepas dari produk yang cukup menyita perhatian, Andre lanjut menceritakan proses kreatif yang ada di dapur Public Culture. Tentang bagaimana mereka menggodok ide-ide liar dan menerjemahkannya ke dalam desain. "Gue selalu involve semua departemen di Public Culture buat decide next collection kita mau apa dan gimana. Responnya gimana terhadap ide a, b dan c," jawab Andre. "Everyone can throwing out ideas," tutupnya.
Sampai artikel ini ditulis, terhitung ada 10 koleksi yang telah dirilis Public Culture. Tiga diantaranya yaitu Permanent Vacation, Lucid Dream dan Anger Management berhasil di-feature media yang jadi kiblat para penggemar streetwear, Hypebeast. Dan sekarang, mereka ngebocorin kalau lagi sibuk mempersiapkan event kolaborasi bareng brand streetwear asal Jepang, Little Sunny Bite. Excited enough, Urbaners?
Nah, buat lo yang mau mengenal Public Culture lebih lanjut, tonton cerita lengkapnya di MLDSPOT TV Season 4 episode perdana dengan tema “Behind The Hype of Streetwear” di YouTube channel MLDSPOT. Jangan lupa subscribe and get yourself inspired!
Comments