Trending
Senin, 29 April 2019

Berdayakan Seniman Difabel, The Able Art Tawarkan Produk Bernilai Tinggi

  • Share
  • fb-share
Berdayakan Seniman Difabel, The Able Art Tawarkan Produk Bernilai Tinggi

Memiliki keterbatasan dan berkebutuhan khusus bukanlah sebuah hambatan bagi mereka yang gigih berjuang. Banyak dari kaum difabel yang memiliki bakat dan potensi tinggi lho, Urbaners! Sayangnya, saat ini banyak stigma negatif pada kaum difabel. Mereka pun belum mendapatkan akses setara untuk berkarya di dunia kerja.

Dari situlah, Tommy terpanggil untuk memberdayakan kaum difabel, terutama yang memiliki ketertarikan di bidang seni. Ia mendirikan The Able Art, sebuah social enterprise yang berkolaborasi dengan seniman difabel untuk mereproduksi hasil lukisan mereka ke produk-produk menarik dan bernilai tinggi.

Penasaran seperti apa ceritanya? Keep reading, Urbaners!

 

Ingin Mengangkat Pemberdayaan Kaum Difabel di Indonesia

Ingin Mengangkat Pemberdayaan Kaum Difabel di Indonesia

Setelah bekerja selama belasan tahun di perusahaan IT, Tommy memutuskan untuk keluar dari perusahaan itu dan mulai memfokuskan diri pada The Able Art sejak Desember 2017. Ia dibantu oleh Siane, istri sekaligus co-founder-nya. “Saya ingin memberdayakan teman-teman difabel dan mengedukasi masyarakat, supaya bisa melihat mereka dari sisi “the able”-nya, bukan labelnya,” kata Tommy.

Mendapatkan inspirasi dari tayangan Kick Andy dalam tema Melukis Dengan Hati, Tommy percaya bahwa orang yang diberikan keterbatasan memiliki kelebihan di titik yang lainnya. Maka dari itu, stigma-stigma terhadap difabel ini haruslah dilihat dari sisi yang berbeda dan hal inilah yang ingin ia terus tonjolkan kepada masyarakat.

Logo The Able Art sendiri memiliki sebuah arti, bentuk hati melambangkan kehidupan dan bentuk lilin melambangkan bahwa hidup harus menjadi cahaya bagi sesama. Tommy berpesan bahwa, sekecil apapun itu, at least teruslah berusaha menjadi terang karena bisa jadi bantuan kita bermakna lebih bagi orang lain. Kalau menurut istilah Bahasa Jawa sih, “Urip Iku Urup”. Pernah dengar nggak, Urbaners?

 

Reproduksi Lukisan ke Berbagai Medium Kreatif

Tommy ingin mendorong seniman difabel untuk bisa mendapatkan penghidupan yang lebih baik. Namun di luar itu, ia juga ingin meningkatkan kepercayaan diri mereka. Dikarenakan rendahnya akses mereka terhadap pendidikan dan informasi, Tommy rajin berbagi informasi tentang tren lukisan terkini yang sedang diminati pasar. Saat ini, ia merasa bahwa beberapa konsep lukisan masih sulit diterima di segmen usia 25-35 tahun karena terkesan old-fashioned.

“Menjual lukisan di Indonesia itu adalah tantangan tersendiri. Butuh waktu yang cukup lama sampai bisa menjual satu lukisan, kadang bisa sampai 3-4 bulan. Padahal kan, rekan-rekan seniman juga harus mendapatkan pendapatan yang stabil untuk membiayai hidup sehari-hari,” kata Tommy.

Berangkat dari keprihatinan itu, Tommy pun berinisiatif untuk mereproduksi lukisan mereka ke medium yang lebih beragam, seperti dompet, pouch, tote bag, sling bag, scarf, sarung bantal, dan sarung laptop. Produk yang dijual berkisar Rp39 ribu hingga Rp300 ribu. Ia sangat menekankan kualitas dari bahan dan jahitan di setiap produknya.

Harga yang ditawarkan pun kompetitif, nggak menggunakan embel-embel “produk hasil seniman difabel” lalu dijual dengan harga mahal, no way! Tommy sangat menghindari hal yang berbau charity. Di The Able Art, mereka selalu melakukan business as usual. Para seniman juga nggak akan kehilangan hak untuk menjual lukisannya sendiri lho, Urbaners!

 

Saling Mendukung dan Berbagi

Saling Mendukung dan Berbagi

Sistem yang disepakati antara Tommy dan para seniman adalah profit sharing dari setiap penjualan, dimana 55% diberikan sebagai royalti seniman, 40% untuk The Able Art, dan 5% lainnya digunakan untuk keperluan peralatan seniman difabel yang baru mau belajar dan bergabung dengan The Able Art. Tommy yakin setiap produknya bisa kompetitif di pasaran dan berani nunjukin kalau seniman di The Able Art setara dengan yang lainnya.

Ia ingin mengedukasi masyarakat untuk “buy with purpose”, bahwa jika ingin membeli produk, maka konsumen bisa melihat cerita di balik produk itu sendiri. Pelanggan The Able Art terbagi menjadi dua segmen, yakni ritel dan korporasi. Penjualan secara retail masih banyak dilakukan melalui media sosial dan Tokopedia. Sementara secara offline, The Able Art sudah menjalin kerjasama dengan Hotel Sheraton Surabaya yang memberikan ruang display secara gratis. Yang terbaru, The Able Art juga menyewa space secara konsinyasi di Terminal 3 Bandara Soekarno Hatta, Urbaners!

 

Dalang di Balik Lukisan

Dalang di Balik Lukisan

Pada awal merintis The Able Art, Tommy mendatangi 20 rumah difabel secara langsung, namun yang setuju bergabung hanya 2 orang. Saat ini, The Able Art sudah berkolaborasi dengan 7 seniman difabel dan 8 anak-anak berkebutuhan khusus dari Yayasan Outsider Art yang mengidap down syndrome, bipolar, dan autis. Mereka rutin melukis sebagai bagian dari terapinya. Lukisan mereka memiliki karakter dan sangatlah jujur, kebanyakan bertemakan arsitektur, doodle, dan abstrak.

Tommy belum memiliki kemampuan untuk berkomunikasi dengan anak-anak itu, namun dibantu dengan Pak Toto sebagai penghubung untuk komunikasi dengan mereka. Pak Toto memiliki calling untuk melayani anak-anak itu, bahkan memberikan les secara gratis bagi anak-anak dari keluarga kurang mampu sekitarnya. Beberapa lukisan dari anak-anak di Yayasan Outsider Art pun diaplikasikan ke produk The Able Art lho, namun tentunya setelah mendapat izin dari orang tua mereka terlebih dulu.

Tujuh seniman yang telah bergabung di The Able Art diantaranya adalah Sadikin Pardi, pelukis yang menggunakan kaki dan mulut berasal dari Malang; lalu ada Rodhi dari Jakarta yang lumpuh akibat kecelakaan motor saat berumur 14 tahun; pasangan kakak-beradik dari Malang bernama Puput dan Zul yang lumpuh karena pelemahan otot dan tulang; Wibowo dari Depok yang terkena penyakit polio; Winda dari Bali yang mengalami pelemahan otot dan tulang; dan Ado dari Jakarta yang merupakan seniman tunarungu dan masih duduk di kelas 3 SD.

Mereka semua sangat berbakat, Urbaners. Tommy menyebut nama mereka semua sebagai partner, “Saya dengan mereka adalah setara, Saya tidak mempekerjakan dan menggaji mereka layaknya seperti karyawan, kita semua bergerak dengan semangat kolaborasi di The Able Art,” tegas Tommy.

 

Rencana Ekspansi Melampaui Batas Geografis

 Rencana Ekspansi Melampaui Batas Geografis

Ke depannya, Tommy akan terus berinovasi dan berupaya meningkatkan profit agar komunitas The Able Art bisa sejahtera bersama-sama. “Kami ingin mendirikan offline store di Bali, karena pasar terbesar produk The Able Art sendiri berada di Bali dan Jakarta. Selain itu, kami juga ingin berekspansi ke luar negeri, mungkin ke Jepang dan Australia,” tambah Tommy.

Di tahun 2019 ini juga, rencananya Tommy akan memperbanyak partner seniman dengan target penambahan 12 orang dan peningkatan profit share yang targetnya bisa mencapai UMR. Selain itu, ia juga sedang mencari tim internal yang mampu mengelola media sosial, desain, dan juga keuangan.

Wah, semoga The Able Art bisa semakin berkembang untuk mendorong kemajuan bagi komunitas difabel ya! Kalau lo tertarik pakai produk-produk keren The Able Art, langsung aja cek katalognya di @theableart, Urbaners!

 

Comments
DEVI TRI HANDOKO
Setelah bekerja selama belasan tahun di perusahaan IT, Tommy memutuskan untuk keluar dari perusahaan itu dan mulai memfokuskan diri pada The Able Art sejak Desember 2017. Ia dibantu oleh Siane, istri sekaligus co-founder-nya. “Saya ingin memberdayakan teman-teman difabel dan mengedukasi masyarakat, supaya bisa melihat mereka dari sisi “the able”-nya, bukan labelnya,” kata Tommy.
nicolas filbert tandun
The Able Art, sebuah social enterprise yang berkolaborasi dengan seniman difabel untuk mereproduksi hasil lukisan mereka ke produk-produk menarik dan bernilai tinggi.