Trending
Senin, 29 April 2019

Heru Joni Putra: Menjadikan Puisi Bagian dari Kehidupan

  • Share
  • fb-share
Heru Joni Putra: Menjadikan Puisi Bagian dari Kehidupan

Heru Joni Putra masih berusia 29 tahun, tapi sudah berhasil menjadi sastrawan muda kebanggaan Indonesia yang memproduksi banyak karya. Pria kelahiran Minang ini sudah aktif menulis sejak di bangku SMP. Ia konsisten berlatih untuk terus memperbaiki kualitas tulisannya hingga saat ini.

Berbagai esai dan puisi yang ditulis Heru kerap terbit di media massa nasional. Ia juga telah malang melintang beredar di kalangan komunitas Sastra di Indonesia. Heru sering diundang menjadi mentor untuk kelas-kelas puisi dan teater bagi mahasiswa sastra, dan juga aktif menjadi pembicara dan kritikus sastra di forum-forum tingkat nasional dan internasional.

Salah satu pencapaian yang paling membanggakan adalah ia berhasil menerbitkan buku puisi “Badrul Mustafa Badrul Mustafa Badrul Mustafa” yang telah diterjemahkan ke versi bahasa Inggris oleh George A. Fowler menjadi “The Mystical Path of Badrul Mustafa”. Di tahun 2017, Majalah TEMPO menobatkan pria kelahiran 1990 ini dengan anugrah Tokoh Seni Indonesia.

 

Perjalanan yang Tak Mudah, Ibarat Naik Bus Lintas Sumatera menuju Jawa

Perjalanan yang Tak Mudah, Ibarat Naik Bus Lintas Sumatera menuju Jawa 

Urbaners, di balik cerita sukses dan pencapaian yang diraih Heru saat ini, perjalanan yang ia tempuh nggak bisa dibilang mudah. Ada banyak rintangan yang menguji konsistensinya untuk terus menulis. Karya yang nggak digubris oleh media, ditolak penerbit, dan dikritik habis-habisan oleh sastrawan senior telah dialaminya. 

“Perjalanan saya menulis sejak awal sampai sekarang seperti perjalanan naik bus lintas Sumatra menuju Jawa. Melewati tempat-tempat yang nggak selamanya indah, tetapi juga mencekam, penuh tegangan, bahkan ketakutan akan apa yang terjadi di depan”, kata Heru.

Namun tantangan itu nggak mengendurkan langkahnya. Hal itu justru menjadi pelecut semangat untuk terus berkarya. Baginya, dunia sastra dan puisi telah menjadi bagian dari kehidupan. Sama halnya dengan makan dan tidur dan dilakukan setiap hari, begitupun Heru memperlakukan puisi dalam keseharian. Semua itu melebur menjadi bagian dari diri sendiri dan kehidupannya.

“Menulis puisi hanya bagian dari hidup saja. Karena hanya bagian, maka artinya saya tidak memikirkan itu saja, tidak fokus ke itu saja. Saya ingin konsisten dengan jalan hidup saya, dimana menulis puisi hanyalah salah satu bagian darinya” ujarnya.

 

Puisi Sebagai Salah Satu Proses untuk Memahami Kehidupan

 Puisi Sebagai Salah Satu Proses untuk Memahami Kehidupan 

Menurut Heru, menulis puisi berarti juga memahami proses kehidupan. Sebab, dalam berpuisi, hasil akhir bukanlah tujuan, melainkan bagaimana proses dalam menciptakan sebuah karya. Puisi merupakan salah satu cara untuk menyampaikan pikiran-pikiran dari apa yang dilihat dan dialaminya.

Buku puisi yang ia tulis, “Badrul Mustafa Badrul Mustafa Badrul Mustafa”, merupakan akumulasi dari proses yang ia jalani selama 10 tahun, tepatnya sejak tahun 2006.

Karena telah melekat dengan proses kehidupan, Heru menegaskan bahwa ia nggak akan berhenti memproduksi puisi-puisi di tiap tahap kehidupan. Selama masih bernafas, selama itu pula puisi akan ada dalam hidupnya. 

“Saat ini saya merasa belum sampai di mana-mana.Oleh karena itu, saya ingin terus berjalan. Kalau saya disebut sebagai sastrawan muda, maka saya ingin jadi sastrawan muda terus, agar saya tetap kuat untuk menempuh jalur perjalanan yang baru,” tambahnya.

 

Puisi Aliran Baru ala Heru

Puisi Aliran Baru ala Heru

Tema-tema puisi yang ditulis Heru tergolong unik dan anti mainstream, Urbaners. Berbicara soal puisi nggak melulu soal kata-kata yang indah, tentang patah hati, kesedihan, atau tentang cinta. Tapi, ada hal-hal lain yang lebih luas di dalam puisi, seperti melawan ketidakadilan dan membela orang miskin.   

Buku puisi “Badrul Mustafa Badrul Mustafa Badrul Mustafa” karya Heru contohnya, memuat puisi-puisi satir yang mengkritisi orang-orang yang disebutnya sebagai ‘nabi baru’. Maksudnya adalah orang-orang yang merasa dirinya sebagai pembawa kebenaran dan orang lain harus mempercayainya. Melalui puisi, Heru menyampaikan bahwa hal seperti itu tidak bisa dibiarkan dan perlu diperbaiki. Ia membawa isu-isu sosial di masyarakat melalui saluran ekspresinya sendiri.

“Salah satu alasan saya menulis puisi adalah karena banyak orang yang muncul seolah-olah sebagai ‘pembawa kebenaran’ bagi orang lain. Dalam ranah politik, budaya, agama, banyak sekali orang yang seakan-akan tidak pernah salah, selalu membawa kebenaran, yang dengan enteng menyalahkan orang lain. Saya butuh mengkritik mereka dengan nada sarkasme. Maka, semuanya saya rangkum dalam buku ‘Badrul Mustafa Badrul Mustafa Badrul Mustafa’,” kata Heru.

 

Mulailah Berkarya, Temukan Jalanmu Sendiri

Urbaners, kalau lo termasuk salah satu yang hobi membaca dan menulis puisi, lo harus menajamkan kreativitas tanpa batas. Menurut Heru, nggak ada pakem khusus dalam menulis puisi yang baik dan benar. Jadi, nggak usah takut bahwa puisi yang lo tulis bakal diejek atau dicap jelek oleh orang. Tulis saja apa yang lo pikirkan dan apa yang lo rasain, karena yang lebih penting dari hasil adalah proses yang lo jalanin dalam menghasilkan sebuah puisi. Satu hal lagi, jangan pernah berhenti belajar ya, Urbaners!

“Hanya orang-orang instan yang butuh tips. Saya lebih percaya proses. Temukan saja jalanmu sendiri,” tegas Heru.

Comments
nicolas filbert tandun
Komunitasnya sastra
SEPTIAN DWI NUGROHO
Perjalanan yang Tak Mudah, Ibarat Naik Bus Lintas Sumatera menuju Jawa