Bermula dari kebiasaan bersepeda keliling kota, Bekti Maulana dan teman-teman menemukan fenomena sampah di Yogyakarta yang merambah sampai di pohon, tiang listrik, tiang lampu, dan rambu lalu-lintas. Pemasangan iklan yang serampangan inilah yang menggerakkan Bekti dan teman-teman untuk membentuk Garuk Sampah, sebuah gerakan komunitas bersih-bersih di wilayah Yogyakarta dan sekitarnya.
“Sampah iklan harus diperangi, jangan sampai karena sudah terbiasa jadi dibiasakan,” kata Bekti. Yuk, simak cerita inspiratifnya di sini, Bro!
Bukan Komunitas tapi “Kawanan”
Buat Bekti dan teman-teman Garuk Sampah, mereka merasa Garuk Sampah lebih tepat disebut sebagai kawanan, bukan komunitas. “Kami nggak ada yang namanya perekrutan anggota. Kalau memang mau bantu bersih-bersih, ya monggo. Saya sendiri bukan disebut sebagai koordinator, tapi kopyordinator,” terang Bekti sembari bercanda.
Untuk menentukan lokasi reresik alias bersih-bersih, biasanya Garuk Sampah menerima laporan dari warga maupun kawan Garuk Sampah lain melalui jaringan komunikasi grup WhatsApp. Jadi buat yang mau gabung, lo tinggal pantau media sosial Garuk Sampah dan lihat update lokasi reresik selanjutnya. Aktivitas Garuk Sampah terbentuk secara kolektif dan kesadaran dari orang-orang yang terketuk hati nuraninya melihat kondisi sampah di kotanya.
Biasanya dari sukarelawan ini ada yang mengikuti aktivitas lebih dari sekali, dua kali atau bahkan lebih, sehingga mereka akhirnya menjadi bagian dari “kawanan” Garuk Sampah. “Ini benar-benar kegiatan yang pure dari masyarakat bawah, ya gerakan akar rumputlah yang memang nggak ada pendanaan dari pihak swasta atau pihak mana pun,” tambah Bekti lagi.
Tentang Pemilihan Lokasi Reresik
Mengenai pemilihan lokasi reresik, menurut Bekti selain dari pantauan teman-teman di lapangan, biasanya mereka juga memilih lokasi bersih-bersih berdasarkan tingkat urgensi dan kondisi di suatu tempat.
Penyaluran sampah iklan yang sudah terkumpul tergantung lokasi. Kalau pas reresiknya di kota, mereka akan membawanya ke masing-masing kantor camat, karena mengikuti dinas Satpol PP yang disebar per kecamatan. Sementara itu, jika bersih-bersih di daerah Sleman, mereka menumpuk hasil reresik, lalu menghubungi Dinas Lingkungan Hidup untuk diangkut.
Salah satu tujuan dari Garuk Sampah adalah membangkitkan kesadaran masyarakat setempat mengenai kondisi tempat tinggalnya. Ketika kesadaran masyarakat sudah terbangun, bukan nggak mungkin Garuk Sampah segera bubar. “Iya dong, tapi dengan catatan kesadaran masyarakat sudah mumpuni dalam menjaga kebersihan dan ada ketegasan dari pemerintah terhadap penanganan masalah sampah di wilayah masing-masing,” tambah Bekti.
Masalah sampah nggak hanya dialami di Yogyakarta saja, tapi juga di kota-kota lain di Indonesia. Salah satu pemicunya selain masih rendahnya kesadaran masyarakat juga pola konsumsi yang belum go green. “Masyarakat harusnya sudah mau mengurangi produksi sampah dengan berhenti mengonsumsi barang-barang yang sifatnya sekali pakai. Dan pemerintah juga harus serius dalam menyediakan fasilitas pendukung, seperti penampungan, pengelolaan dan pengolahan sampah yang berkelanjutan,” kata Bekti.
Pasanglah Iklan pada Tempatnya
Ternyata bukan hanya sampah saja yang harus dibuang pada tempatnya, memasang iklan juga harus pada tempatnya. Menurut pemantauan tim Garuk Sampah, ada begitu banyak pemasang iklan yang menyalahi aturan pemasangan iklan.
Sebenarnya pemerintah daerah sudah menyediakan tempat resmi pemasangan iklan berupa rangka besi yang tersedia di hampir setiap persimpangan jalan protokol. Sayangnya, masih ada saja yang bandel memasang iklan di tiang rambu lalu lintas, penerangan jalan umum, bahkan pagar properti.
Parahnya lagi, iklan-iklan ini dibiarkan begitu saja hingga masa promosi ataupun informasi yang dikabarkan dalam iklan tersebut sudah lewat. Sudah seharusnya ada tanggung jawab dari para pemasang iklan untuk membersihkan iklan-iklan yang sudah basi. Malahan yang terjadi iklan lama tertumpuk dengan pemasangan iklan-iklan baru, jadilah pemandangan Yogyakarta semakin ruwet. “Lama-lama kalau gini, kita nggak bisa lagi melihat Gunung Merapi karena sudah tertutupi iklan,” terang Bekti.
Mengembalikan Kultur Kota
Pada akhirnya, Bekti menegaskan bahwa kegiatan reresik bukan hanya tentang menjaga visual dan kebersihan, tetapi juga bagaimana mengembalikan kultur kota. Seperti Yogyakarta, kota yang terkenal indah dan romantis ini malah berubah menjadi “pameran” baliho dan selebaran iklan-iklan.
“Sampah-sampah iklan membuat kota jadi kehilangan kulturnya dan penduduk kota jadi terbiasa dengan keberadaan iklan-iklan yang mengganggu pandangan mata,” papar Bekti.
Gerakan Garuk Sampah sejatinya bertujuan untuk mengembalikan kultur kota dan makna dari kebersihan itu sendiri. Jangan sampai kita menganggap biasa hal-hal yang sebenarnya nggak biasa. Apa jadinya Yogyakarta ke depannya kalau masalah sampah ini dibiarkan berlarut-larut, dan masyarakatnya juga abai dengan kondisi ini?
“Garuk Sampah hanyalah gerakan. Pada akhirnya, semua kembali ke masyarakat. Kami berharap apa yang dilakukan Garuk Sampah bisa mengetuk hati orang-orang yang melihat. Misalnya pas kami bersih-bersih, pengendara dan orang-orang yang lewat bisa melihat aksi kami dan turut serta bergabung melakukan perubahan,” tutup Bekti.
Buat lo yang tinggal di Yogyakarta dan sekitarnya, atau sedang main di Yogyakarta dan ingin bergabung dengan kegiatan Garuk Sampah, update terus kegiatan mereka di @garuksampah ya!
Comments