Nongkrong di bar sudah menjadi hal tak asing bagi masyarakat Indonesia, terutama di kalangan anak muda kita. Definisi bar sendiri adalah tempat berkumpul dan bersosialisasi bagi berbagai lapisan masyarakat dan membeli minuman. Perbedaan nongkrong di bar bagi orang Indonesia dan negara barat sendiri adalah jika di Indonesia orang pergi ke bar lebih untuk bersosialisasi, bertemu orang baru, atau bahkan menikmati pengalaman baru di tempat baru. Jika di negara barat yang lebih individualis, mereka pergi ke bar langganan mereka untuk menikmati minuman yang tersedia.
Kali ini MLDPODCAST berkesempatan ngobrol banyak dengan Ranaditya Alief dan Rendy Yusuf dari Otaku Box Podcast, yang juga baru saja menjadi franchise partner dari Tori Bar, sebuah bar bertema budaya Jepang, yang identik dengan tempat nongkrong para wibu (sebutan untuk para non-Jepang yang menggilai budaya Jepang), yang terletak di Fatmawati dan Blok M, Jakarta. Ryo Wicaksono, Rana, dan Rendy ngobrolin banyak hal soal bar dan etika nongkrong di bar.
(RW) Jadi awalnya gimana lo dan teman-teman dari Otaku Box bisa jadi franchise partner dari Tori Bar?
(RA) Jadi sebenarnya awalnya ada kekisruhan kecil yang membuat kita memutuskan untuk punya legitimasi di tempat itu. Maka kita memutuskan untuk mendekat dengan sang owner, seorang bapak-bapak Jepang namanya Take-San (Takeshi Murahara), kita bernegosiasi dan kita tanya apa yang bisa kita perbuat, kemudian setelah itu kita sepakat jadi franchise partner. Owner-nya juga sangat open dan akhirnya kita juga involved dengan desain tempatnya, and we look forward in being best as a host as we can. Intinya adalah the gate of Tori is open, jadi kalo lo familiar sama kita berdua atau teman-teman Otaku Box lain kita sangat open kok. Ternyata seru jika lo jadi patron sebuah tempat, makin banyak orang yang datang tuh it bring us happiness.
(RW) Gue juga setuju kalau itu jadi cara lo buat mendidik customer, supaya mereka juga gak seenaknya. Ada tendensi buat para customer yang datang ke sebuah bar dan sudah spend banyak, lo merasa lo berhak request lagu seenaknya. Di Duck Down Bar pun ada gimmick sebuah jar yang lo harus bayar 100 ribu kalau lo mau request lagu, itu pun tergantung Dj atau host karaoke, jadi lo gak boleh marah.
(RA) Memang istilah customer is the king agak misleading sih sekarang, tetap bar itu ada yang punya, we will try to serve you as best as we can, tapi ada istilahnya house rules, dan kalau lo gak suka just go back to your house sih basically.
(RW) Menurut gue semua tempat nongkrong atau bar pasti punya house rules, tapi selalu ada unwritten law di sebuah bar, menurut lo apa aja tuh?
(RA) Menurut gue satu sih simple aja di bar mana pun, dan ini juga sudah kita hint sebelumnya, when in Rome, do as Romans do. Dan mungkin yang kedua adalah lo jangan ganggu customer lain. Itu aja sih basically, ibaratnya yang tadi adalah Pancasila, yang lain undang-undang turunannya aja sih sebenarnya. Kita di Tori Bar juga sebenarnya punya langkah preventif, kita di Tori Bar punya security yang kita beri seragam marine dari One Piece.
(RY) Jadi kalau lo dateng ke Tori Bar di depan ada yang pake baju marine, emang marine beneran tuh dia.
(RW) Ketika lo mendesain tempatnya wibu banget, dari segi musik dan konten, tapi lo pasti pengennya tempat ini welcome untuk semua orang. Apakah dengan lo membentuk konsep seperti itu, lo jadi mengkotak-kotakan customer, dalam artian kalo gue gak terlalu doyan Jepang, ini kayaknya bukan tempat buat gue deh.
(RA) Mungkin sebenarnya framing dari situ adalah ‘kalau lo ga terlalu suka segala hal soal Jepang, coba aja siapa tau lo bakal jadi demen.’ Tapi basically semua bar kan punya USP (unique selling points), punya sesuatu yang bikin bar-nya gak vanilla, dalam artian beda sama bar lain. Pada akhirnya ketika kita bikin bar kan ada audience tertentu yang memang kita highlight, it’s just part of marketing aja. Dimana bagus kalo mass bisa dateng, tapi tentunya yang terpenting adalah loyal customer, dan secara pool memang pasti lebih kecil, but they're loyal to the brand. Mungkin seperti Duck Down Bar yang muterin musik segala macam, tapi secara menu dan konten kan rock banget. Mungkin Tori Bar juga semacam itu, core-nya di wibu tapi kita open to everyone.
(RW) Sebelum ada Tori Bar, apakah lo setuju kalau bar yang langganan lo datengin memang harus merepresent diri lo?
(RA) Setuju. Kaya misalnya dulu jamannya gue senang nonton bola, gue sering banget dateng ke Cazbar Kemang. Memang Cazbar yang jadi tempat para ekspat buat nonton Liga Inggris. Jadi itu cara gue membentuk identitas gue, yang sedang menikmati pop-culture di luar negeri. Itu yang selalu gue rasain di Tori Bar, it has that Japanese vibe and at night ketika lo lihat MRT lewat really feels like in Japan. And that’s the identity part. The Japanese feeling.
(RW) Jadi akan ada Melawai Meltdown dong?
(RA) Jangan salah. Kita lagi bikin lampu neon yang bakal ada kata-kata Melawai Meltdown dan Cipete Meltdown.
(RY) Sampai akhirnya kita sediakan bucket khusus untuk muntah.
(RW) Dari segi bisnis, karena lo sekarang sudah jadi pelaku, bukan cuma jadi penikmat sebuah bar. Biasanya bakal cukup kesulitan ketika lo menggabungkan tempat makan dan tempat minum secara bersamaan, pasti biasanya ada sales yang lebih condong. Apakah di Tori Bar lo merasa kayak gitu juga?
(RA) Kebetulan karena gue mulai involved day-by-day, walau baru sebatas menu. Sebenarnya di Tori Bar cabang Fatmawati itu bukan masalah yang terbesar, karena menurut yang kami lihat, Take-San cukup fleksibel. Dia gak pengen tiap malam punya pemasukan yang besar, tapi gimana caranya lo punya loyal customer. Di Tori Bar Fatmawati kelebihannya yang jarang ada di bar-bar lain. Di satu gedung itu kan ada banyak restoran lain, lo bisa pesan dari restoran lain dan lo makan di situ tanpa additional charge. Gue biasa pesan dari Ramen Fujiyama dan makan di situ, Kitchen 88 juga gue makan di situ.
(RW) Menurut lo sebagai penikmat bar yang makin banyak, hal apa yang paling utama menjadikan bar itu semakin rame?
(RA) Gue kepikiran dua kata sih; characteristic dan comfort.
(RY) Banyak sih orang yang datang ke Tori Bar, bahkan ada cerita orang kerja di Jakarta Utara tapi nongkrong-nya di Tori Bar. Karena memang cuma tempat ini yang sambil kerja pun bisa merasa santai.
(RA) Ketika lo sudah akrab dengan sebuah tempat, lo kenal waiter-nya, dia juga expect lo akan datang, lo ngobrol dan tanya soal kehidupannya. Bar memang seharusnya seperti itu, jadi tempat perekat sosial.
(RY) Sama ada hal yang gue temuin Tori Bar bertema kebudayaan Jepang yang erat dengan cosplay, gue pernah menemukan segerombolan orang datang dengan kostum harajuku, mereka datang dan mereka bisa nyaman di Tori Bar.
(RA) Kita bisa jadi safe space buat orang yang mungkin merasa dia gak bisa jadi dirinya sendiri ketika di tempat lain, dan menurut gue itu vital sih.
Obrolan berlanjut dengan pertanyaan dari follower MLDSPOT yang dijawab oleh teman-teman dari Tori Bar. Salah satunya pertanyaan “Gue tuh kalau nongkrong suka awkward sendiri, kayak gak cocok gitu. Ada tips gak biar gue ngerasa lebih luwes nongkrong di bar?”.
(RY) Ajak teman-teman lo nongkrong dulu.
(RA) Atau lo bisa ajak ngobrol waiter-nya dengan cara yang tidak mengganggu. Yang penting kalau memang lo sendiri tapi pengen bisa mingle ya usahakan jangan sok asik. Sebenarnya secara individual lo bisa ngerasain lo bisa jump in atau engga. Salah satu social lubricant kan kesamaan minat ya, itu sebenarnya untungnya sebuah bar yang punya tema. Sama halnya mungkin kalau di Tori lo bisa dengerin dua orang yang lagi berdebat soal Naruto atau One Piece mana yang lebih bagus. Kalau di tempat lain diketawain, kalau di Tori Bar mungkin lo bisa jump in.
Dan masih banyak lagi obrolan seru soal etika nongkrong di bar dari Ryo Wicaksono bersama dua teman dari Otaku Box dan Tori Bar, Ranaditya Alief dan Rendy Yusuf. SImak obrolan lengkap mereka di sini atau dengerin versi audio-nya di sini.
Comments